by Serian Wijatno - detikNews
Jakarta - Menguak polemik mengenai reklamasi Pantai Utara
Jakarta, kita terhenyak melihat kesaksian Gubernur Basuki Tjahaja
Purnama atau Ahok di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta pada
akhir bulan Juli ini. Hal ini merupakan terobosan besar dan menarik pada
rangkaian persidangan tersebut karena sebagai orang nomor satu di
Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (Pemprov DKI), beliau
menjelaskan secara gamblang mengenai kebijakan yang seyogyanya sudah
direstui oleh presiden dari 2 dekade lalu
Secara tuntas Ahok
menjelaskan kepada majelis hakim bahwa ia merujuk kepada Kepres Nomor 52
Tahun 1995 sebagai landasan mewujudkan fungsi Pantai Utara Jakarta
menjadi kawasan andalan melalui penataan dan pengembangan Pantai Utara
Jakarta via reklamasi. Maka ia kemudian mengungkapkan prosedur terdahulu
di mana Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta bekerjasama
dengan PT Manggala Krida Yudha (MKY) pada 16 September 1997. Sebagai
perusahaan swasta, PT MKY kemudian melakukan kontribusi sebagai imbalan
atas hak membangun pulau. Preseden ini menunjukkan bahwa kerjasama
pemerintah-swasta sebetulnya sudah menganut prinsip business to business
yang teknisnya ditentukan presiden berdasarkan pertimbangan tim ahli.
Pada
tahun 2014, Ahok melanjutkan pelaksanaan proyek reklamasi dengan
mengundang sejumlah pengembang pemegang izin reklamasi, yakni PT. Muara
Wisesa Samudra, PT. Jakarta Propertindo, PT. Taman Harapan Indah, dan
PT. Jaladri Kartika Pakci, yang salah satunya mengagendakan kontribusi
tambahan bagi mereka. Jadi, di sini kita dapat melihat bahwa lingkup
gubernur tidak hanya menata ruangan, tetapi juga menata wilayah darat
dan air. Tentunya wewenang ini dilandasi berdasarkan perjanjian dan
wajib memberikan manfaat bagi rakyat. Peran pemerintah diposisikan
sebagai regulator dan pengarah karena keterbatasan dana, sedangkan pihak
swasta sebagai pemohon izin melaksanakan permintaan pembangunan
infrastruktur sesuai dengan kesepakatan.
Kontribusi tambahan
perusahaan pengembang melalui proyek reklamasi tersebut nyatanya sudah
dilaksanakan melalui pembangunan fisik seperti pembangunan 320 unit
hunian di Rusunawa Daan Mogot, revitalisasi Dermaga Muara Angke,
renovasi Rusunawa Marunda dan pembangunan Gedung Parkir di Mapolda Metro
Jaya berdasarkan permintaan Pemprov DKI Jakarta. Bahkan Ahok secara
mengapresiasi perusahaan tersebut karena mereka rela bekerja di awal
dengan janji landasan hukum yang ada. Sinergi pemerintah-swasta saat ini
yang terjadi di Jakarta merupakan momentum yang luar biasa dan tidak
selayaknya diingkari oleh anasir non yuridis.
Terobosan tersebut
dilakukan oleh Ahok saat ini berlandaskan asas diskresi sudah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang
Administrasi Pemerintahan. Kewajiban kontribusi tambahan sebesar 15%
dari nilai NJOP juga sudah diungkapkan oleh Ahok melalui kajian teknis
Biro Tata Ruang Pemprov DKI Jakarta. Maka kiranya di sini persoalan
angka telah diselesaikan secara terang benderang.
Publik
kemudian dihebohkan dengan artikel dari media massa nasional memuat
tindakan Rizal Ramli sebagai mantan Menteri Koordinator Maritim dan
Sumber Daya Manusia pada akhir bulan Juli yang mengumumkan penghentian
reklamasi pulau G. sebab pernyataan yang diucapkan ternyata bertentangan
dengan fakta yang tertuang pada rapat. Tuty Kusumawati selaku Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemprov DKI Jakarta secara spesifik
juga menyoroti 5 isu dalam rapat yaitu mengenai pulau G, pipa gas bawah
laut, instalasi pembangkit PLN, area labuh Pelabuhan Sunda Kelapa dan
Nelayan, yang semuanya dijawab dengan lugas oleh Pemprov DKI Jakarta.
Maka kejadian tersebut menimbulkan dampak multifaset.
Dari aspek
tata negara seorang pejabat selayaknya mengumpulkan fakta dan data
sebelum membuat pernyataan yang berdampak luas. Azas hukum tata negara
yang sudah mengatur secara jelas mengenai hirarki keputusan sebagaimana
adagium-adagium hukum lex superior derogat legi generali, andai kata
pun, dinyatakan melanggar, maka presidenlah yang berwenang melakukan
tindakan korektif.
Dari sudut ekonomi, pernyataan tersebut
secara sepihak telah mengguncang dunia usaha Indonesia, terutama di
bidang pengembang properti. Proses bisnis yang telah berjalan dan kajian
puluhan tahun kemudian dihentikan seketika oleh rapat singkat sudah
barang tentu menimbulkan ketakutan di kalangan pengusaha bahwa iklim
investasi di Indonesia serba tidak pasti dan tidak tentu. Bukan tidak
mungkin pernyataan ini berimbas kepada promosi pemerintah untuk menarik
investasi kembali ke dalam negeri.
Segala regulasi atau kebijakan
yang jelas seharusnya didukung penuh oleh semua lapisan dan tentu
dengan pengawasan yang objektif. Kesamaan visi menjadi hal penting dalam
permasalahan reklamasi ini, sehingga tidak adanya dasar aturan yang
tumpang tindih, kebijakan yang spontan dan menimbulkan perdebatan yang
tidak pernah usai sehingga membuat masyarakat menjadi bingung dan resah,
khususnya pro dan kontra terhadap dampak lingkungan, sosial dan
ekonomi.
Indonesia, terutama Jakarta saat ini membutuhkan
pembangunan fisik yaitu rumah pompa, jalan inspeksi, bendungan dan
waduk. Di sisi lain proyek infrastruktur seperti MRT dan LRT juga
berjalan secara paralel. Semua ini akan sulit berjalan tanpa jaminan
hukum dari pemerintah, sebab bisnis adalah risiko. Penulis berpendapat
bahwa negara ini memerlukan pengambil keputusan yang bersedia mengambil
risiko terukur demi rakyat. Kiprah Ahok sudah menjadi pelopor dan
mendapatkan dukungan dari rakyat luas. Tinggal perhatian dari pemerintah
akan memuluskan langkah beliau membangun Jakarta. Akankah hal ini
terjadi? Mari kita lihat.
*) Dr. Serian Wijatno, SE, MM, MH adalah Doktor Ilmu Hukum dan Praktisi Pendidikan Tinggi
(nwk/nwk
http://news.detik.com/kolom/3267358/mendorong-reklamasi-pantai-utara-jakarta-sebagai-kebijakan-berkelanjutan